We will always try to update and open chapters as soon as possible every day. Thank you very much, readers, for always following the website!

Menantu Pahlawan Negara

Bab 507
  • Background
    Font family
    Font size
    Line hieght
    Full frame
    No line breaks
  • Next Chapter

Bab 507 Tidak Ada Istilah Berlutut pada Bajingan

“Ah! Berani–beraninya kamu memukulku!”

“Berani–beraninya kamu memukul wanita! Kamu adalah seorang pria atau bukan?!”

Biarpun wajahnya sudah tampak mengenaskan, wanita itu tetap tidak menyadari kesalahannya dan

berteriak dengan arogan.

Ardika mendengus dan berkata, “Aku nggak peduli kamu adalah pria atau wanita! Orang nggak tahu diri sepertimu pantas dipukul!”

Dia sudah bersabar menghadapi wanita ini cukup lama.

“Kamu! Tunggu saja kamu!”

Wanita itu duduk di tanah, lalu berteriak kepada petugas pria yang sudah tampak linglung. “Kenapa kamu masih melamun saja di sana? Cepat panggil bantuan!”

“Hari ini aku harus membunuh bajingan itu!”

“Oh, oke!”

Petugas pria itu tersadar kembali, lalu berlari masuk ke dalam rumah duka.

Tak lama kemudian, sekelompok orang berlarian keluar dari rumah duka dengan aura menakutkan, lalu mengepung Ardika dan yang lainnya.

Pemimpin sekelompok orang itu adalah Wilson Yendia, Ketua Rumah Duka Kota Banyuli.

Wilson melirik wanita di tanah itu dengan ekspresi muram, lalu melambaikan tangannya dan meminta

Follow on NovᴇlEnglish.nᴇt

anak buahnya untuk memapah wanita itu berdiri.

Wilson menatap Ardika dan yang lainnya dengan tatapan dingin dan bertanya dengan marah, “Bajingan

mana yang melakukannya?!”

Wanita itu menunjuk Ardika dan berkata dengan sorot mata tajam, “Pak Wilson, bajingan ini orangnya!”

Tatapan semua anggota rumah duka tertuju pada Ardika.

“Pak Wilson, hajar bocah itu hingga babak belur terlebih dahulu, lalu minta kompensasi sebesar 16 miliar

atau 20 miliar darinya!” (2)

“Mungkin bocah itu masih nggak tahu pendukung rumah duka kita adalah Bos Simon! Berani– beraninya

+15 BONUS

dia memukuli anggota kita! Benar–benar cari mati!”

Petugas lainnya juga melontarkan kata–kata arogan dan lancang,

Wilson melambaikan tangannya sebagai isyarat agar semua anggotanya diam terlebih dahulu.

Kemudian, dia memelototi Ardika dan berkata dengan tajam, “Bocah, kamu sudah dengar ucapan anak

buahku, ‘kan? Coba kamu katakan, kamu berencana menyelesaikan masalah ini dengan cara apa?!”

Melihat para petugas rumah duka berperilaku seperti preman, Robin sedikit ketakutan. Dia juga

mengkhawatirkan keselamatan Ardika.

Dia buru–buru berkata, “Pak Wilson, dia nggak sengaja memukul orang. Dia hanya kesal dengan anak

buah Bapak ….”

“Bajingan tua, tutup mulutmu!”

Wanita itu berteriak dengan marah, “Bajingan tua, kamu dan bajingan itu harus berlutut dan bersujud di

hadapanku.”

“Setelah amarahku reda, baru kita bicarakan lagi mengenai kompensasi. Kalau nggak, kami akan

membunuh kalian!”

Dengan adanya dukungan dari Wilson dan yang lainnya, dia menjadi makin percaya diri dan arogan.

“Sudah dengar belum?! Cepat berlutut!”

Petugas rumah duka lainnya juga memasang ekspresi ganas, membantu wanita itu untuk menggertak

Robin dan Ardika.

“Kalian benar–benar keterlaluan!”

Dengan berlinang air mata, Robin berusaha menahan amarahnya.

Abu putranya sudah hilang, dia tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada Ardika; putra angkatnya.

“Oke, aku berlutut! Aku berlutut!”

Di meletakkan kotak abu putranya yang dipeluknya dengan erat ke tanah dan berencana untuk berlutut.

Follow on Novᴇl-Onlinᴇ.cᴏm

“Ayah, hidup di dunia ini, harga diri sangat penting, nggak ada istilah berlutut di hadapan bajingan.”

Tepat pada saat ini, tiba–tiba Ardika mengulurkan lengannya dan menarik lengan Robin, tidak

membiarkan ayah angkatnya itu untuk berlutut.

“Dasar bajingan! Kamu memaki siapa?! Benar–benar cari mati saja!”

+15 BONUS

“Jangan omong kosong lagi! Kita hajar saja bajingan itu terlebih dahulu! Setelah dihajar, dia baru tahu

diri!”

Ucapan Ardika benar–benar sudah menyulut amarah sekelompok anggota rumah duka ini. Mereka mulai

mengayunkan senjata dalam genggaman mereka dan bersiap untuk menyerang.

Wilson juga menyadari Ardika adalah orang yang keras.

‘Kalau nggak dihajar terlebih dahulu, bocah itu pasti nggak akan tunduk.‘

Setelah berpikir demikian, dia berkata dengan tajam, “Kendalikan diri kalian baik–baik, jangan sampai dia

mati! Kalau dia mati, kita nggak bisa meminta kompensasi lagi.”

“Serang dia!”

Tanpa banyak bicara lagi, sekelompok orang itu langsung menerjang ke arah Ardika.

Melihat ekspresi ganas mereka, kedua kaki Robin sudah terasa lemas saking ketakutannya.

Namun, dia tetap bergegas menerjang ke depan dan berteriak dengan keras tanpa menoleh ke belakang,

“Ardika, cepat lari!” 2